Islam, Pelabuhan Terakhir Ihsan Chua Gim Sam
Chua Gim Sam lahir dari keluarga yang pemuluk taoisme. Namun ia dan orangtuanya, seperti penganut taoisme pada umumnya, tidak paham dengan sejarah dan prinsip-prinsip ajaran taoisme, karena mereka menerima keyakinan itu atas dasar keyakinan turun temurun. Begitu pula Chua Gim Sam, sampai usian 9 tahun menerima agama turun temurun itu tanpa banyak bertanya.Mengapa sampai usia 9 tahun? Karena pada saat itu, seorang guru dan teman-temannya di sekolah mengatakan bahwa mereka semua harus menjadi Kristiani. Jika mereka tidak mau menjadi seorang Kristiani, mereka akan dihukum mati. Chua kecil sangat takut akan ancaman itu. Karenanya, sejak saat itu, ia memeluk dua agama; taoisme karena turunan dari keluarga, dan Kristen karena takut akan ancaman. Sampai beranjak remaja, Chua yang asal Singapura, tidak bisa menentukan agama mana yang ia praktekkan dalam kehidupan sehari-seharinya.
Di Sekolah Menengah Pertama, Chua memilih agama Budha sebagai pilihan mata pelajaran agamanya di sekolah, dengan alasan agama itu paling mudah dipelajari. Doktrin agama Budha begitu berpengaruh pada hidupnya ketika itu, karena menurutnya, ajaran agama ini sangat logis dan praktis. Meski menurut Chua, ajaran Budha kurang mengenalkan konsep Tuhan sebagai Penguasa Tertinggi.
Petualangan Chua belajar agama berlanjut, ketika ia masuk ke sekolah milik misionaris St Andrew Junior High School. Di sekolah ini, seluruh siswa--kecuali yang muslim--wajib mengikuti pelajaran agama Kristen yang berbasis ajaran Protestan Anglikan. Seorang pastor yang mengajar prinsip-prinsip ajaran agama Protestan Anglikan membuat Chua yang ketika itu berusia 17 tahun, begitu terkesan sehingga ia yakin akan kebenaran ajaran agama itu.
Sampai lulus sekolah menengah atas, dan ia bergabung dalam akademi kemiliteran, Chua tidak pernah bisa betah ikut dalam satu jamaah gereja sesuai ajaran Kristen yang diyakininya. Ia merasa belum menemukan ajaran Kristen yang membuat hatinya tenang dan damai.
Tapi menjelang tahun terakhirnya di sekolah kemiliteran, seorang teman mengajaknya bergabung dengan gereja St. John St. Margaret. Di gereja inilah Chua merasa betah dan aktif dalam kegiatan gereja yang mengurusi anak-anak dan olah raga.
Mengenal Islam
Saat sedang giat-giatnya di gereja, Chua bertemu dengan seorang muslimah. Chua berusaha meyakinkan muslimah itu tentang ajaran Kristen di gerejanya, tapi ia terkesima dengan keteguhan muslimah tersebut yang meyakini bahwa Islam adalah agama yang paling benar, meski si muslimah tersebut tidak bisa menjelaskan kebenaran yang diyakininya itu.
Tapi peristiwa itu mendorong Chua untuk bertanya tentang Islam dengan seorang temannya yang juga muslimah. Lagi-lagi, Chua tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan, karena temannya mengaku tidak mampu menjelaskan lebih mendalam tentang Islam. Sahabat Chua yang muslimah itu lalu menyarankan Chua untuk datang ke Darul Arqam jika ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Darul Arqam adalah sebuah Asosiasi Mualaf Singapura.
Chua mengikuti saran temannya itu, meski ia memandang Islam sebagai agama terorisme dan agama yang tidak masuk akal. "Alasan saya cuma, jika agama Islam adalah agama yang baik, maka penganutnya seharusnya juga manusia yang baik," kata Chua.
Selama ini, ujarnya, dari sedikit teman muslim yang dikenalnya, ada yang baik dan ada yang menurutnya bukan muslim yang baik. Ketika di sekolah menengah pertama, Chua ingat ada satu teman muslimnya, tapi tidak pernah berusaha menyebarkan ajaran Islam padanya.
"Keluarga saya juga tidak senang dengan Islam, karena mereka melihat apa terjadi di Timur Tengah dan melihat orang-orang muslim asal Malaysia yang menjadi pegawai ayah saya, rata-rata malas dan berperilaku kurang baik," ungkap Chua.
Namun Chua tetap datang ke Darul Arqam, dan langsung mengikuti kelas orientasi. Ia dikenalkan dengan seorang pembimbing bernama Remy. Dari Remi, Chua mengetahui dua hal yang membuatnya sangat tercengang. Pertama, bahwa Islam bukan agama yang berdasarkan pada "perasaan" seperti agama Kristen. Kedua, Remi mengatakan padanya, "Jangan terburu-buru masuk Islam, sampai kamu mengajukan pertanyaan sebanyak yang ingin kamu tahu. Kalau kamu sudah tidak punya pertanyaan lagi, barulah kamu memutuskan masuk Islam."
"Dalam ajaran Kristen, Anda tidak bisa mengajukan pertanyaan karena semakin banyak pertanyaan yang Anda ingin tahu jawabannya, Anda akan semakin bingung," kata Chua membandingkan pengalamannya selama ini sebagai Kristiani.
No comments:
Post a Comment